Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:

أَيَحْسَبُ الْإِنْسَانُ أَنْ يُتْرَكَ سُدًى

Apakah manusia mengira, bahwa ia akan dibiarkan begitu saja (tanpa pertanggungjawaban)? (QS. Al Qiyamah : 36)

Ayat ini, walaupun bentuknya adalah pertanyaan, namun maknanya adalah pengingkaran bahwa tidaklah manusia diciptakan lalu dibiarkan hidup seenaknya, tanpa ada perintah dan larangan dari Allah SWT yang harus ditaatinya. Aktivitas apapun yang dilakukan manusia, pasti ada perintah dan larangan (hukum) Allah atas aktivitas tersebut.

Pentingnya Keseriusan

Seorang muslim, seharusnya bukan hanya memandang apakah suatu aktivitas itu boleh atau bahkan wajib dilakukan, namun lebih dari itu, ketika beraktivitas haruslah diperhatikan bagaimana aktivitas itu dilakukan dengan sebaik mungkin, diriwayatkan bahwa Rasulullah bersabda:

إِنَّ اللهَ تَعَالَى يُحِبُّ إِذَا عَمِلَ أَحَدُكُمْ عَمَلًا أَنْ يُتْقِنَهُ

Sesungguhnya Allah menyukai jika seseorang melaksanakan sesuatu pekerjaan, dilaksanakannya dengan terampil (HR. Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman, Abu Ya’la dalam Musnadnya, juga At Thabrani dalam Mu’jamul Awsath)

Berpikir Serius (At Tafkîr al-Jiddiyyah)

Setiap orang, baik yang berpikiran sederhana dan dangkal (sath-hî), yang mendalam (`amîq) ataupun yang tercerahkan (mustanîr), harus selalu serius dan sungguh-sungguh dalam berpikir.

Memang benar, seseorang yang berpikir sederhana dan dangkal (al-mufakkir as-sath-hî), kesederhanaan atau kedangkalannya dalam berpikir tidak akan membantunya untuk berpikir serius. Akan tetapi, ketika dia berusaha menjauhkan diri dari kesia-siaan dan keterbiasaan (rutinitas) berpikir yang sederhana dan dangkal, dia akan mampu berpikir serius.

Keseriusan dalam berpikir tidak selalu membutuhkan kedalaman, meskipun kedalaman dalam berpikir jelas akan mendorong pelakunya untuk senantiasa berpikir serius. Keseriusan dalam berpikir juga tidak selalu membutuhkan kecemerlangan, meskipun kecemerlangan berpikir meniscayakan keseriusan dalam berpikir.

Seseorang bisa dikatakan berpikir serius, jika memenuhi dua hal:

1) Berpikir tentang tujuan beraktivitas (At tafkîr bil ghôyah), yakni aktivitas yang dilakukan haruslah punya tujuan tertentu, dan agar tujuannya tidak sia-sia, maka tujuan tersebut haruslah:

a) muhaddadah (punya batasan dan terukur), karena tanpa batasan dan ukuran, tentu sulit mewujudkan tujuan aktivitas tersebut.

b) mushowwaroh (tergambar), yakni tergambar dalam benaknya tujuan apa yang akan diraih dari aktivitas tersebut, juga tergambar bagaimana langkah meraih tujuan tersebut.

c) mumkinah (mungkin), yakni tujuan yang ingin diraih tersebut mungkin untuk mewujudkannya dalam kapasitasnya sebagai manusia.

2) Amal yang sepadan untuk meraih tujuan tersebut sampai berhasil.

***

Berpikir tentang suatu bahaya, misalnya, bukanlah semata-mata dimaksudkan untuk membahas tentang adanya bahaya tersebut, tetapi dalam rangka menjauhinya. Berpikir tentang pembuatan undang-undang bukan pula dimaksudkan sekadar untuk membahas undang-undang tersebut, tetapi ditujukan dalam rangka membuat undang-undang. Begitu juga dengan berbagai aktivitas berpikir lainnya, bagaimanapun jenisnya, intinya adalah berpikir tentang sesuatu atau berpikir tentang bagaimana merealisasikan sesuatu yang dipikirkan itu.

Berpikir tentang sesuatu mesti dimaksudkan dalam rangka mengetahuinya. Sementara itu, berpikir tentang realisasi sesuatu tersebut harus ditujukan dalam rangka mewujudkannya. Dalam dua keadaan tersebut (yakni berpikir tentang sesuatu dan realisasinya), tidak boleh ada unsur kesia-siaan. Keterbiasaan (rutinitas) berpikir tentang sesuatu atau tentang bagaimana merealisasikannya juga tidak boleh mempengaruhi seseorang ketika ia ingin berpikir serius.

Jika seorang pemikir telah berhasil menjauhkan kesia-siaan dan rutinitas dalam berpikirnya, berarti dia telah berhasil mewujudkan upaya berpikir serius. Pada saat demikian, sangat mudah baginya —meskipun bukan sebuah keniscayaan— untuk mewujudkan tujuan dan berupaya untuk merealisasikannya. Lebih dari itu, akan sangat mudah, bahkan sebuah keniscayaan, baginya untuk mewujudkan gambaran tentang fakta yang ditujunya atau yang dipikirkannya.

Namun demikian, keseriusan yang dimaksudkan di sini bukanlah keseriusan absolut (mutlak), melainkan keseriusan yang setaraf/sepadan dengan apa yang sedang dipikirkan. Jika “keseriusan” seseorang dalam berpikir tidak setaraf dengan apa yang sedang dipikirkannya, maka ia tidak dikatakan sedang berpikir serius.

Contohnya orang yang berpikir ingin menjadi hakim tetapi tidak berusaha mewujudkannya dan hanya berupaya sekadar untuk menjadi karyawan di kantor pengadilan juga tidak bisa dipandang sebagai orang yang berpikir serius ingin menjadi hakim, tetapi hanya mungkin dianggap serius berpikir untuk menjadi seorang karyawan.

Demikian pula seseorang yang mengklaim telah berpikir serius untuk bisa menerapkan hukum-hukum Allah SWT dg tegaknya khilafah, namun enggan mengkaji bagaimana konsep-konsep Islam dalam mengatur sistem pemerintahan, ekonomi, pendidikan, pergaulan, pidana, dan hubungan luar negeri, atau enggan menjelaskan hal tersebut kepada masyarakat, lalu memilih membatasi diri dalam menjelaskan hukum tajwid, mengajak berdzikir dan berdo’a, atau mengumpulkan dana untuk membantu ekonomi umat secara praktis, tanpa mengaitkan semua aktivitasnya itu dengan perjuangan menegakkan hukum syara’, bahkan menjauhkan pembahasan syari’ah dan khilafah dari aktivitasnya, tidaklah bisa dipandang sebagai orang yang berpikir serius dalam upaya menegakkan hukum Allah, walaupun bisa dikatakan serius berpikir untuk menjelaskan hukum tajwid, dzikir maupun ekonomi praktis.

Walhasil, berpikir serius meniscayakan adanya usaha untuk merealisasikan apa yang dipikirkan, dan usaha tersebut harus setaraf dengan tujuannya. Jika seseorang 1) tidak berusaha untuk merealisasikan tujuan dalam berpikirnya, meskipun sampai pada taraf pemikiran tertentu, atau 2) berusaha mewujudkannya tetapi tidak setaraf dengan apa yang dipikirkannya, maka ia tidak dianggap serius dalam berpikir.

Klaim seseorang bahwa ia serius dalam berpikir tidaklah cukup untuk membuktikan keseriusannya. Begitu juga usahanya untuk menciptakan berbagai kondisi, fenomena, atau gerakan tertentu; baik berupa gagasan ataupun gerakan fisik; tidak cukup untuk menunjukan bahwa ia berpikir serius. Akan tetapi, yang menunjukkan seseorang serius dalam berpikir adalah upaya realnya untuk melaksanakan berbagai aktivitas fisik yang setaraf dengan apa yang dia pikirkan.

Berbagai umat dan bangsa yang terpuruk, individu-individu yang malas, orang-orang yang tidak mau menanggung berbagai risiko, orang-orang yang didominasi rasa malu; rasa takut, atau ketergantungan kepada yang lain biasanya tidak pernah serius dalam apa yang mereka pikirkan. Alasannya, keterpurukan biasanya akan mendorong seseorang untuk senantiasa menginginkan yang mudah-mudah, sehingga dia enggan menyibukan dirinya untuk mengupayakan hal-hal yang lebih sulit dan berisiko; kemalasan bertentangan dengan keseriusan; ketidakmauan menanggung risiko akan memalingkan seseorang dari keseriusan; sementara rasa malu, takut, dan ketergantungan kepada yang lain juga akan menghalangi seseorang dari keseriusan.

Keseriusan dalam berpikir tidak akan terwujud secara spontan, tetapi harus selalu diupayakan secara serius untuk diwujudkan.

Penutup

Jika saat bekerja untuk mendapatkan sesuap nasi saja seseorang harus serius, dia mencari berbagai pengetahuan untuk melancarkan kinerjanya, mengorbankan sebagian besar waktunya dan menguras tenaganya, lalu seseorang yang ‘seadanya’ saja dalam menempuh jalan dakwah-Nya, mendatangi kajian tanpa semangat, mengalokasikan hanya waktu ‘sisa-sisa’ dari waktu utamanya yang sudah habis menguras energinya, layakkah dikatakan orang tersebut serius mengharap ridha-Nya?

Benar, karena urusan menafkahi keluarga, kadang kita harus meluangkan sebagian waktu kita, karena gaji kita pas-pasan, dan yang pas-pasan meminta kompensasi sebagian besar waktu kita, namun keseriusan bukan hanya bicara berapa ‘durasi’ waktu kerja berbanding dakwah, namun keseriusan bisa dilihat dengan seberapa besar perhatian kita terhadap dakwah, seberapa besar perhatian kita saat menjadikan sebagian waktu kita betul-betul berarti untuk dakwah; serius mengkaji ide dan pemikiran yang akan disampaikan, serius mengkaji metode dan uslub-uslubnya, serius menjalankan metode dan uslub yang sudah direncanakannya, juga serius mengalokasikan waktu untuk perjuangan, karena bukan waktu yang mengatur kita, namun kitalah yang mengatur waktu yang telah diberikan Allah kepada kita. Sangat aneh kalau kerja di kantor 5 atau 6 kali seminggu tidak pernah absen bahkan tidak pernah telat, namun senantiasa telat saat menghadiri pengajian, jika ini terjadi pada diri kita, patut kita pertanyakan, sudah seriuskah diri kita?

Imam Ibnul Jauzi menyatakan bahwa Amirul Mukminin, Umar bin Khattab r.a pernah berkata:

أشكوا إلى الله جَلَد الخائن وعجْز الثقة

“Aku mengadukan kepada Allah tentang bagaimana ketabahan (keseriusan) orang-orang yang khianat, dan lemahnya orang-orang yang tsiqah (dapat dipercaya).” (Manaqib ‘Umar bin Khattab, hal 117).

Hal ini karena kadang ketaqwaan secara individual tidak dibarengi dengan keseriusan dan keterampilan dalam melaksanakan aktivitas, sementara orang yang memiliki sifat khianat, kadang mereka lebih serius berfikir dan serius beraktivitas. Allâhu A’lam. [MTaufikNT]

Rujukan utama: Kitab at Tafkir, karya Syaikh Taqiyuddin an Nabhani.